Senin, 28 Desember 2009

Manusia dan Jati

Perjalanan itu jauhnya hingga tak terukur dalam jarak
Lamanya tak terhitung dalam waktu
Dekatnya tak tersentuh oleh rabaan
Sesampainyapun tak berjumpa
Ceritanyapun tak bergambar
Keindahannya tak terpandang indera dan tak terperikan dalam cerita.
Tak ada warna tak ada rupa
Tak sesuatupun kecuali semuanya sesuatu.
Yang ada hanya cerita awal dan akhir saja
Duhai bayi,
Diawali turun ke bumi dengan raga yang terbungkus oleh jiwa suci
Berselimut sutra surgawi
Berbantalkan permadani surga
Telah meninggalkan lembutnya belaian kasih dan sayang jiwa ibumu
Dengan mata malu-malu, ragu, sesal melihat dunia.
Maka tangislah yang pertama dilantunkannya untuk dunia
Akan tetapi disambutnya dengan riang oleh manusia yang berbalut nafsu.
Wahai manusia
Tidakkah engkau tegarkan jiwanya yang ragu dan sesal dalam menatap dunia
Kenapa engkau malah tertawa
Apakah tanda engkau telah mendapat kawan untuk bersama.
Duhai manusia
Engkau telah salah dalam menyambut bersihnya raga yang terbungkus oleh jiwa suci.
Setiap tangisnya adalah penyesalan kenapa meski aku terlahir ke dunia
Karena aku tahu tak akan mampu menantang dunia bersamamu, bisiknya
Bilakah menjumpai tangisnya hentilah semua nafsumu
Tegakah engkau menimangnya dalam buaian nafsu yang membelenggu ragamu.
Selimutkan jiwamu untuk membawa dia di dalam tegar dunia
Sebagai pelipur lara, akupun tak hendak lahir ke dunia ini bayiku
Akupun tak kuasa menjawab tanyamu
Kenapa aku mesti lahir ke dunia
Duhai manusia
Bila dirimu tidak mengertinya
Maka sebuah tanda bagimu
Akan mengakhiri dunia ini dalam jiwa nestapa duka lara dosa sesal derita
Dalam belenggu serpihan selimut nafsu belaka
Duhai bayi
Malam demi malam engkau lalui sendirian
Tanpa seorangpun berusaha mengerti jiwamu
Tidak saudara dan handai taulanmu
Tidak juga yang melahirkanmu
Engkau lahir langsung merasakan pahitnya dunia
Tanpa bimbingan jiwamu kecuali ragamu yang diperhatikan
Bila engkau menangis hanya dilihatnya botol susu sapimu telah habis
Dan kalaulah masih ada maka dikiranya engkau terganggu tidurmu
Dihentikanlah sementara kegaduhan sampai engkau terbiasa menerima seperti mereka
Bila engkau bangun malam dikiranya engkau kencing tanda popok minta digantinya
Bila mampu popokmu dibikinkan pabrik untuk seharian
Tidak tahu kesepian jiwamu yang sendirian
Tidak pula sebagai pertanda untuk menemani jiwamu
Bila engkau diam dikiranya engkau tidak respon keadaan
Dicarikanlah dokter ahli agar engkau banyak ulah ragawi belaka
Diberinya engkau minuman susu sapi agar gagah berani ragawimu nanti
Tak peduli engkau nanti akan jadi dungu keadaan
Asal bukan susu kuda liar yang membuat ayahmu jadi binal
Bilakah engkau rewel hanya dikiranya ada sesajian yang kurang
Dicarinya semua penjuru kampung tabib dan segala penjuru kota dokter yang mengerti
Maka engkau diberi mantera sang tabib untuk mengusir setan yang tak akan pernah bisa menjauhimu
Dan didatangkannya obat oleh dokter untuk membungkam perangaimu yang tidak menidurkan semalam
Duhai kanak,
Ragamu engkau peliharakan dalam ceria lucu jenaka
Jiwamu yang indah sebagai terlihat dalam lakumu dalam tawamu dalam bicaramu dalam senyummu dalam tidurmu
Yang membuatmu indah dalam setiap jiwa yang memandangmu yang memeliharakanmu
Bukankah kecilnya Musa dan musa mampu melengahkan Fir’aun dan fir’aun yang berkuasa dalam balutan nafsu belaka
Sebaliknya engkau bagai secepat mata memejam dalam memberi tanda tak suka bila yang melihatmu yang memeliharakanmu tidak berada dalam jiwa kasihmu.
Duhai manusia,
Engkau buat dirimu merasa banyak ilmu engkau buat dirimu indah engkau buat dirimu jenaka engkau buat dirimu bijak engkau buat dirimu berperangai
Tetapi kenapa hanya untuk menutupi jiwamu yang telah tercabik oleh nafsumu
Tidakkah engkau lihat dalam indahnya pakaianmu itu hanya untuk menutup sisi jiwa burukmu
Tidakkah engkau lihat ragamu yang cedik pandai hanya untuk menutup sisi jiwamu yang licik dan dungu
Matamu yang melihat tajam tidak membantu mata jiwamu yang mulai rabun bahkan buta
Pendengaran tajammu malah melupakan rintihan jiwamu yang sekarat
Bahkan jiwamu telah mati pada saat engkau mulai merasakan hidupnya dunia
Hari-hari tersisa hanya untuk mendengar rintihan raga dalam balutan jiwamu yang telah sekarat
Engkau hanya hidup dari sisa nafsumu
Maka engkau menciptakan neraka bagi dirimu
Engkau pikir hanya ragamu yang ada
Engkau ikuti kehendak nafsu raga untuk membunuh jiwa
Jiwamu engkau tinggal untuk panggilan nafsu ragawi
Engkau pikir semua akan selesai dengan ragamu yang gagah
Bagaimana dengan jiwamu yang merintih kepedihan
Semakin engkau merasa berada dalam kecukupan ragamu semakin engkau berada jauh dari kecukupan jiwamu
Semakin engkau merasa berada dalam kekuasaan semakin jiwamu tak ada kuasa atas ragamu
Duhai manusia
Tidakkah engkau lihat jiwamu yang telah mati terbakar oleh nafsumu
Hari kematian jiwamu telah datang walau belum hari kematian ragamu
Walaupun jiwamu tetap akan setia menunggu sampai waktu
Tidakkah engkau lihat jiwamu merintih didalam senang ragamu
Tidakkah engkau lihat kesetiaan jiwamu, di dalam senang dan susahmu
Bukankah itu menunjukkah kuasa Yang Maha Pengasih dan Penyayang belaka
Ingat jiwamu
Jiwamu akan selalu hidup dalam tidurmu
Yang masih tegar di saat sakit ragamu
Walau engkau menyakiti jiwamu saat sehat ragamu
Tidakkah engkau lihat jiwamu selalu memberi hidup dalam sekarat ragamu
Hari hari engkau selalu lupakan jiwamu
Bilakah hanya ingat hingga datang kematian ragamu untuk menjemput keabadian jiwamu
Bila engkau telah meninggalkan raga yang fana
Maka jiwamu akan hidup terus dalam kekal dan sesal
Dan bilalah engkau mengerti cerita ini mesti engkau akan bertanya
Ada apa dengan diriku
Kemana aku meski menghindar
Kemana aku meski menuntut ilmu
Haruskah kucari sampai ujung bumi
Untuk tahu sampai ketemu ilmu
Engkau mesti tidak mengejarnya untuk memenuhi nafsu belaka
Dan tak juga diam menunggu seperti si dungu
Oleh karena jalan menuntut ilmu itu termasuk ilmu
Dan bagi engkau manusia yang merasa berilmu
Sesungguhnya tiada berilmu
Dan bagi yang merasa sang guru
Sesungguhnya engkau bukan guru
Dan tidaklah setiap ilmu yang engkau berikan akan bermanfaat
Oleh karena hauspun tidak harus minum bagi ilmu
Airpun tidak harus bagi yang kehausan
Tetapi berikan air bagi kehidupan
Dan ilmu bagi engkau yang mencari ilmu
Dan bagi yang mencari ilmu
Lepaskan semua pakianmu
Lihatlah jiwamu yang tanpa busana
Walau pincang kakimu sebelah
Walau bopeng bekas luka
Walau tercoreng cacat muka
Meski engkau berusaha menutup pandang
Tak ada sempurna mata jiwamu menatap
Selama jiwamu seperti terlihat dalam pandanganmu
Tetapi kenapa musti engkau hina diri
Bagaimana mesti menambal luka bila semua engkau tutup dalam pertunjukan sempurnanya raga yang perkasa
Walau aku tahu jiwa pincang sebagai terlihat gontai dalam hidupmu
Bagaimana mesti memandikan jiwamu yang kau tutupi walau jiwamu berdebu penuh lumpur berbau
Air suci mesti tahu diri tak akan menyentuh jiwa yang berbungkus nafsu
Bagaimana hendak menjahit pakaian surgawi untuk jiwamu meski mandipun tak mau
Dan bagi yang mencari ilmu
Sudahlah engkau lihat utuh jiwamu
Hingga engkau tahu cacat semua
Itulah jiwa diri sejati
Yang mesti engkau terima
Walau engkau tak menyukainya
Itulah jiwa yang membungkus ragamu
Biarlah tanpa busana supaya engkau mudah merawatnya bagai bayi
Mandikanlah agar engkau tak berbau
Walau kulitmu sudah setebal lembu
Hingga susah memandikan
Walau belum ada pakaian
Berikanlah kesempatan jiwamu untuk hidup
Walau akan terasing dari dunia
Hingga engkau serasa bayi lahir kembali
Serasa tidak berilmu, tak berbusana
walau penuh lumpur nafsu dan dosa
Itulah awal sikap berilmu
Dan bergurulah pada sang guru sejati
Yang merasa tidak tahu dan yang tidak merasa tahu
Yang tidak menunjukkan ilmu itu tinggi atau rendah
Yang tidak menyalahkan pada yang menyalahkan
Yang tidak pula membenarkan pada yang membenarkan
Yang merasa tak berilmu dan tidak merasa berilmu
Yang merasa tidak menggurui dan tidak merasa menggurui
Dan tidak pernah menyalahkan bila salah
Dan tidak pernah membenarkan bila benar
Yang tidak pernah mencari pengikut
Yang tidak merasa pintar
Yang tidak merasa bodoh
Yang selalu kasih
Yang tidak pula pilih kasih
Tidak pernah menunjukkan satu-satunya jalan kebenaran
Tidak pernah menyalahkan jalan-jalan yang salah
Tidak pernah pula membenarkan jalan yang dibenarkan
Yang tidak pernah menunjukkan awal perjalanan
Yang tidak pernah menunjukkan akhir perjalanan
Yang hanya menerima bahwa semua itu jalan
Tidak pernah banyak berkata
Tidak pernah banyak bicara
Tidak pernah berdusta
Yang juga memaklumimu
Walau tahu kesalahanmu
Yang tidak juga mendukungmu
Walau tahu kebenaranmu
Walau seolah sang guru diam
Bila sampai waktu bagi sang guru
Didatangkan terkadang kejam dan keras kehidupan
Bagi jiwamu agar tegar dalam hidupmu
Bukankah itu tanda kasih dan sayang
Yang selalu kasih pada jiwamu
Walau tak terlihat pada ragamu
Yang diam melihat perbuatanmu
Dimana ilmu bisa ketemu
Tak ada tempat untuk mencari
Tak ada waktu untuk menunggu
Jangan sampai sadar terlambat waktu
Sampai datang keabadian menjemputmu
Walau benar bersama sang guru adanya
Ternyata engkau sudah tinggalkan dunia
Yang bila mendapatkan maka tidak merasa mendapatkan
Dan bila merasa mendapatkan maka tak mendapatkan
Dimana saat engkau baru hidup dalam balutan jiwa
Yang berselimut sutra surgawi
Yang siap kapan saja kembali
Pada tempat semuanya bermula dan semuanya berakhir

Pertapa gua hantu, th 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar